Senin, 21 September 2015

Biografi Ulama | KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang

Biografi Ulama | KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
Biografi Ulama | KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang - Nahdhlatul Ulama yang merupakan organisasi terbesar di dunia, tentu menjadi bukti betapa pendirinya merupakan seorang yang berjiwa besar, dan seorang yang berjiwa besar tidak akan lepas dari pendidikan lingkungan keluarga, karena pendidikan dari keluargalah yang akan menjadi darah daging, urat nadi dari akhlak seseorang, dan juga peran dari guru, sahabat dari seseorang, seperti mereka yang ada di sekeliling pendiri NU, mereka adalah orang-orang berjiwa besar, berwawasan luas, budi pekerti yang luhur. 

Pendiri NU yaitu Hadhratus Syaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H (14 Februari 1871 M) di Pondok Pesantren Gedang Tambakrejo Jombang, Jawa Timur oleh pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah. Beliau adalah putra ketiga dari 11 bersaudara.


# Riwayat Keluarga

KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, KH. Hasyim Asy'ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada KH. Hasyim.

# Silsilah Nasab

Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
  • Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
  • Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
  • Abdul Halim (Pangeran Benawa)
  • Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
  • Abdul Halim
  • Abdul Wahid
  • Abu Sarwan
  • KH. Asy’ari (Jombang)
  • KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

Menurut catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
  • Husain bin Ali
  • Ali Zainal Abidin
  • Muhammad al-Baqir
  • Ja’far ash-Shadiq
  • Ali al-Uraidhi
  • Muhammad an-Naqib
  • Isa ar-Rumi
  • Ahmad al-Muhajir
  • Ubaidullah
  • Alwi Awwal
  • Muhammad Sahibus Saumiah
  • Alwi ats-Tsani
  • Ali Khali’ Qasam
  • Muhammad Shahib Mirbath
  • Alwi Ammi al-Faqih
  • Abdul Malik (Ahmad Khan)
  • Abdullah (al-Azhamat) Khan
  • Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
  • Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
  • Maulana Ishaq
  • dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)


# Pendidikan Beliau

Jiwa kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy'ari sudah nampak sejak beliau masih kecil. Di antara teman sejawatnya, ia kerap kali dijadikan sebagai pemimpin. Bahkan saat usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang usianya jauh lebih dewasa dari dirinya. Hingga pada usia 15 tahun Hasyim mulai berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

# Silsilah Keilmuan

  • KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
  • KH Cholil Bangkalan
  • Kyai Ya’qub, Sidoarjo
  • Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
  • Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
  • Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
  • Syaikh Ibrahim Arab
  • Syaikh Said Yamani
  • Syaikh Rahmaullah
  • Syaikh Sholeh Bafadlal
  • Sayyid Abbas Al Maliki
  • Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
  • Sayyid Husain Al Habsyi
  • Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
  • Sayyid Abdullah al-Zawawi
  • Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
  • Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
  • Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad

# Mendirikan Pesantren Tebuireng


Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.

# Penerus Beliau

(Murid) :
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:

KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)

(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu

Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.

Putra-putri dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf

Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:

(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub


# Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. 

Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. 

Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. 

Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. 

Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

# Mendirikan Nahdlatul Ulama

Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

# Pidato KH. Hasyim Asy’ari Saat Didirikannya Nahdlatul Ulama 1926


Pidato Rois Akbar Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari pada saat didirikannya NU pada 16 Rajab tahun 1344 H/31 januari 1926 M di Surabaya

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Qur’an kepada hambaNya agar menjadi pemberi peringatan kepada sekalian umat dan menganugerahinya hikmah serta ilmu tentang sesuatu yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka benar-benar mendapat keberuntungan yang melimpah.

Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Nabi, Aku utus Engkau sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan penyeru kepada (agama) Allah serta sebagai pelita yang menyinari.” (QS. al- Ahzab ayat 45-46)

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.” (QS. an-Naml ayat 125).

“Maka berilah kabar gembira hamba-hambaKu yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik darinya. Merekalah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. az-Zumar ayat 17-18).

“Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah yang tak beranakkan seorang anakpun, tak mempunyai sekutu penolong karena ketidakmampuan. Dan agungkanlah seagung-agungnya.” (QS. al-Kahfi ayat 111).

“Dan sesungguhnya inilah jalanKu (agamaKu) yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan ikuti berbagai jalan (yang lain) nanti akan mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Demikianlah Allah memerintahkan agar kamu semua bertaqwa.” (QS. al-An’am ayat 153).

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik kesudahannya.” (QS. an-Nisa’ ayat 59).

“Maka orang-orang yang beriman kepadaNya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’raf ayat 157).

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) berdo’a: Ya Tuhan ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami beriman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr ayat 10).

“Wahai manusia, sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah diantara kamu semua.” (QS. al-Hujurat ayat 13).

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah Ulama.” (QS. al-Fathir ayat 58)

“Diantara orang-orang yang mukmin ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah, lalu diantara mereka ada yang gugur dan diantara mereka ada yang menunggu, mereka sama sekali tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab ayat 23).

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan beradalah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. at-Taubah ayat 119).

“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu.” (QS. Luqman ayat 15).

“Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Anbiya’ ayat 7).

“Adapun orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecenderungan menyeleweng, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya mereka mengatakan: “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat itu, semuanya dari sisi Tuhan kami.” Dan orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya).” (QS. Ali Imron ayat 7).

“Barangsiapa menentang Rasul setelah petunjuk jelas padanya dan dia mengikuti selain ajaran-ajaran orang mukmin, maka Aku biarkan ia menguasai kesesatan yang telah dikuasainya (terus bergelimang dalam kesesatan) dan Aku masukkan ke neraka jahanam. Dan neraka jahanan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’ ayat 115).

“Takutlah kamu semua akan fitnah yang benar-benar tidak hanya khusus menimpa orang-orang dzalim diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat dahsyat siksaNya.” (QS. al-Anfal ayat 25).

“Janganlah kamu bersandar kepada orang-orang dzalim, maka kamu akan disentuh api neraka.” (QS. al-Hud ayat 113).

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, di atasnya berdiri Malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. at-Tahrim ayat 6).

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang mengatakan: “Kami mendengar”, padahal mereka tidak mendengar.” (QS. al-Anfal ayat 21).

“Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata, menurut Allah, ialah mereka yang tuli (tidak mau mendengar kebenaran) dan bisu (tidak mau bertanya dan menuturkan kebenaran) yang tidak berpikir.” (QS. al-Anfal ayat 22).

“Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran ayat 104).

“Dan saling tolong menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat dahsyat siksaNya.” (QS. al-Maidah ayat 2).

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta berjaga-jagalah (menghadapi serangan musuh di perbatasan). Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran ayat 200).

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan lalu Allah merukunkan antara hati-hati kamu, kemudian kamu pun (karena nikmatnya) menjadi orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran ayat 103).

“Dan janganlah kamu saling bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang kekuatanmu dan tabahlah kamu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang tabah.” (QS. al-Anfal ayat 46).

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu dirahmati.” (QS. al-Hujurat ayat 10).

“Kalau mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka, niscaya akan lebih baik bagi mereka dan memperkokoh (iman mereka). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku anugerahkan kepada mereka pahala yang agung dan Aku tunjukkan mereka jalan yang lurus.” (QS. an-Nisa’ ayat 66-68).

“Dan orang-orang yang berjihad dalam (mencari) keridhaanku, pasti Aku tunjukkan mereka jalanKu, sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut ayat 69).

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah dengan penuh penghormatan.” (QS. al-Ahzab ayat 56). “… Dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridla kepada mereka.”

Amma Ba’du. Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan hal yang tidak seorangpun tidak mengetahui manfaatnya. Betapa tidak. Rasulullah Saw. benar-benar telah bersabda:

“Yad Allah bersama jama’ah. Apabila diantara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka syaitan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing. Allah ridha pada kamu tiga hal dan tidak suka tiga hal. Allah ridha kamu menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun; Kamu semua berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya dan jangan bercerai-berai; dan Kamu saling memperbaiki dengan orang yang dijadikan Allah sebagai pemimpin kamu. Dan Allah membenci bagi kamu, saling membantah, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta benda. Jangan kamu saling dengki, saling menjerumuskan, saling bermusuhan, saling membenci dan jangan sebagian kamu menjual atas kerugian jualan sebagian yang lain dan jadilah kamu, hamba-hamba Allah, bersaudara.” (H.R. Muslim).

Dikatakan dalam sebuah syair: “Suatu ummat bagai jasad yang satu. Orang-orangnya ibarat anggota-anggota tubuhnya. Setiap anggota punya tugas dan perannya.”

Seperti dimaklumi, manusia mesti bermasyarakat, bercampur dengan yang lain; sebab tidak mungkin seorangpun sendirian dalam memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak keburukan dan ancaman bahaya daripadanya. Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seiya-sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.

Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.

Rasulullah Saw. telah mempersaudarakan sahabat-sahabatnya sehingga mereka (saling kasih, saling menyayangi dan saling menjaga hubungan), tidak ubahnya satu jasad; apabila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad ikut merasa demam dan tidak dapat tidur.

Itulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit. Mereka tundukkan raja-raja. Mereka taklukkan negeri-negeri. Mereka buka kota-kota. Mereka bentangkan payung-payung kemakmuran. Mereka bangun kerajaan-kerajaan. Dan mereka lancarkan jalan-jalan.

Firman Allah dalam al-Qur’an: “Dan Aku telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.” (QS. al-Kahfi ayat 84).

Benarlah kata penyair yang mengatakan dengan bagusnya: “Berhimpunlah anak-anakku bila kegentingan datang melanda. Jangan bercerai-berai sendiri-sendiri. Cawan-cawan enggan pecah bila bersama. Ketika bercerai satu-satu pecah berderai.”

Sayyidina Ali Kw. berkata: “Dengan perpecahan tak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang belakangan.”

Sebab, satu kaum apabila hati-hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat sesuatu tempat pun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan bereka saling berselisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda.

Mereka telah menjadi seperti kata pepatah: “Kambing-kambing yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai kepada mereka) atau karena saling berebut, telah menyebabkan binatang-binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalau sebagian mengalahkan yang lain. Dan yang menangpun akan menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri. Si kambingpun jatuh antara si perampas dan si pencuri.”

Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan. Betapa banyak keluarga-keluarga besar semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, bisanya menjalar meracuni hati mereka dan syaitanpun melakukan perannya, mereka kucar-kacir tak keruan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan.

Sahabat Ali Kw. berkata dengan fasihnya: “Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan.”

Singkat kata siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat-saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah menggelimang mereka, kebangggan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah menjadi perhiasan mereka tidak lain adalah karena berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah setujuan dan pikiran-pikiran mereka seiring. Maka inilah factor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.

Musuh-musuh mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka. Dan merekapun mencapai tujuan-tujuan mereka dengan gemilang. Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah tak pernah terbenam senantiasa memancar gemilang. Dan musuh-musuh mereka tak dapat mencapai sinarnya.

Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan keluarga madzhab imam empat; Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum Anda, orang-orang sebelum Anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalan sanad yang bersambung sampai kepada Anda sekalian, dan Anda sekalian selalu meneliti dari siapa Anda menimba ilmu agama Anda itu.

Maka dengan demikian, Anda sekalian adalah penjaga-penjaga ilmu dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu. Siapa yang memasukinya tidak melalui pintunya, disebut pencuri.

Sementara itu segolongan orang yang terjun ke dalam lautan fitnah; memilih bid’ah dan bukan sunnah-sunnah Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku. Maka para ahli bid’ah itu seenaknya memutarbalikkan kebenaran, memungkarkan makruf dan memakrufkan kemungkaran. Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana. Mereka tidak berhenti sampai di situ, malahan mereka mendirikan perkumpulan pada perilaku mereka tersebut. Maka kesesatan semakin jauh. Orang-orang yang malang pada memasuki perkumpulan itu.

Mereka tidak mendengar sabda Rasulullah Saw.: “Maka lihat dan telitilah dari siapa kamu menerima ajaran agamamu itu. Sesungguhnya menjelang hari kiamat, muncul banyak pendusta. Janganlah kamu menangisi agama ini bila ia berada dalam kekuasaan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di dalam kekuasaan bukan ahlinya.”

Tepat sekali sahabat Umar bin Khattab Ra. ketika berkata: “Agama Islam hancur oleh perbuatan orang munafiq dengan al-Qur’an.”

Anda sekalian adalah orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebathilan, penafsiran orang yang bodoh dan penyelewengan orang-orang yang over acting; dengan hujjah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan melalui lesan orang yang ia kehendaki.

Dan Anda sekalian kelompok yang disebut dalam sabda Rasulullah Saw.: “Anda sekelompok dari umatku yang tak pernah bergeser selalu berdiri tegak diatas kebenaran, tak dapat dicederai oleh orang yang melawan mereka, hingga datang putusan Allah.”

Marilah Anda semua dan segenap pengikut Anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk Jam’iyyah yang diberi nama “Jam’iyyah Nahdlatul Ulama” ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.

Ini adalah jam’iyyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa di mulut orang-orang yang baik dan getir di tenggorokan orang-orang yang tidak baik. Dalam hal ini hendaklah Anda sekalian saling mengingatkan dengan kerjasama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan memikat serta hujjah yang tak terbantah. Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang.

Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku dicaci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barangsiapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang.”

Allah Swt. berfirman: “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa kepada Allah.”

Sayyidina Ali Kw. berkata: “Tak seorang pun (betapapun lama ijtihadnya dalam amal) mencapai hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hamba Nya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran di antara mereka.”

Tak seorangpun (betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama) dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadanya. Dan tak seorangpun (betapa kerdil jiwanya dan pandangan-pandangan mata merendahkannya) melampaui kondisi dibutuhkan bantuannya dan dibantu untuk itu. Tak seorangpun betapa tinggi kedudukannya dan hebat dalam bidang agama dan kebenaran yang dapat lepas tidak membutuhkan bantuan dalam melaksanakan kewajibannya terhadap Allah, dan tak seorangpun betapa rendahnya, tidak dibutuhkan bantuannya atau diberi bantuan dalam melaksanakan kewajibannya itu.

Tolong menolong atau saling bantu pangkal keterlibatan umat-umat. Sebab kalau tidak ada tolong menolong, niscaya semangat dan kemauan akan lumpuh karena merasa tidak mampu mengejar cita-cita. Barang siapa mau tolong menolong dalam persoalan dunia dan akhiratnya, maka akan sempurnalah kebahagiaannya, nyaman dan sentosa hidupnya.

Sayyidina Ahmad bin Abdillah as-Saqqaf berkata: “Jam’iyyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana kamu akan pergi? Ke mana?”

Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul (masuk jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan.

“Mereka (orang-orang munafiq itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan (tidak masuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka mereka pun tidak bias mengerti.” (QS. at-Taubah ayat 17).

“Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (QS. al-A’raf ayat 99).

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberi hidayah kepada kami, anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisiMu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi anugerah.” (QS. Ali Imran ayat 8).

“Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari diri-diri kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkan kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali Imran ayat 193).

“Ya Tuhan kami, karuniakanlah kami apa yang Engkau janjikan kepada kami melalui utusan-utusanMu dan jangan hinakan kami pada hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.” (QS. Ali Imran ayat 194).

# Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia

Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.

Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.

# Kisah Teladan Beliau

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.

Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”

Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.

# Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC

Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.

Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.

Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.

Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.

Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.

“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.

” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.

Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.

Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.

Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.

# Wafatnya KH. Hasyim Asy'ari

Tertulis bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H (21 Juli 1947 M) jam 9 malam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selesai mengimami shalat Tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Mbah Hasyim menemui utusan tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.

Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut Kyai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
  1. Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
  2. Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
  3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.


Keesokan harinya Mbah Hasyim memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.

Tidak lama berselang, Mbah Hasyim mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.

Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi Mbah Hasyim tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke Mbah Hasyim, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa Mbah Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.

Kala itu putra-putri Mbah Hasyim sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro.

Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa Mbah Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).

Atas jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting, yakni:
  1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
  2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
  3. Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah Belanda.

Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

Sedikit berbeda dengan kutipan di atas, Kyai Sanusi Lebaksiu Tegal yang merupakan santri Mbah Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa menjelang wafat sang gurunya itu dirinya sedang turut mengaji. Seperti tidak terjadi apa-apa, sebagaimana laiknya orang yang sehat, Mbah Hasyim mengajar sebuah kitab di hadapan para santrinya. Hal tersebut merupakan rutinitas Mbah Hasyim setiap ba’da Shubuh.

Sebagai salah satu saksi mata, Kyai Sanusi menyaksikan tatkala Mbah Hasyim sedang membacakan kitab tiba-tiba terdiam menundukkan kepalanya. Para santri mengira beliau hanya sedang mengantuk. Tapi setelah salah seorang santrinya mendekat (mungkin Kyai Ghufron, sebagaimana kutipan di atas) dan memastikan keadaan Mbah Hasyim, ternyata nyawa gurunya itu telah tiada. Sontak saja para santri yang saat itu sedang mengaji geger bercampur duka yang mendalam. Guru yang sangat dicintainya itu telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.

Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus saudara beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan. Inti dari sambutan Mbah Wahab adalah menjelaskan tentang prinsip hidup Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya: “Berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat."

Artikel Terkait