Selasa, 24 Mei 2016

Biografi Ulama - KH Muhammad Yahya (Malang Jawa Timur)

Biografi Ulama - KH Muhammad Yahya (Malang Jawa Timur)
Sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terlepas sedikitpun dari mereka "Kaum Bersarung". Mereka tergerak hatinya, karena terbimbing oleh hati-hati yang bersih, hati yang hanya takut kepada Allah. 


Hati orang yang telah terpatri kepada Sang khalik, akan tetap taat untuk menjalankan perintahNya, meski nyawa harus dipertaruhkan. 

Membela Tanah Air, Menghilangkan kemungkaran, Melawan kedzaliman, Mempertahankan hak kebebasan, mereka jalankan semata-mata hanya demi menjalankan syariat, meskipun nyawa terancam.

Hanya soal kematian yang semua makhluk akan merasakan mati, dan kematian sudah ditentukan, jika memang belum saatnya maka berperang sekalipun tak akan menemui ajal, itu prinsip mereka. Namun jika sudah ajal tiba, memohon ampun pada penjajah pun akan tetap mati.

Sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia, banyak Kiai yang tidak tinggal diam, doa mereka, pemikiran mereka, sangat memiliki peran utama adanya kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya tentara saja yang berperang, namun seluruh warga, seluruh rakyat, dan hanya para tokoh lah yang bisa menggerakkan semangat rakyat waktu itu.

Sampai saat ini pun rakyat Indonesia tetap hanya bisa digerakkan oleh ulama, tokoh agama. Sehingga jika tokoh agama atau ulama diam, bungkam, dan meminta bungkam, rakyat akan bungkam.

Unggah-ungguh, tata krama dan budi pekerti yang luhur inilah, yang menjadikan mereka para ulama bisa dihargai di Indonesia ini, budi pekerti yang luhur ini yang menjadikan rakyat Indonesia punya empati, gotong royong, dan saling bahu membahu.

Budi pekerti luhur inilah yang membuat bangsa Indonesia mudah disatukan waktu itu...

Dan keluhuran budi pekerti hanya bisa dimiliki oleh orang yang BERAGAMA. Orang yang mengakui adanya Tuhan. 

Salah satu ulama, tokoh masyarakat, mursyid Thoriqoh yang pada saat perjuangan kemerdekaan ikut berperan menggerakkan hati dan semangat juang rakyat adalah KH. Muhammad Yahya.

Di balik kelembutan sebagai seorang ulama. Sosok Kiai Muhammad Yahya, memiliki jiwa patriot yang tinggi. KH Muhammad Yahya ada di garda depan saat berjuang melawan penjajah Belanda pada 10 November 1945. Nama Kiai generasi ke tiga, Pondok Pesantren Miftahul Gading ini begitu harum.

Kisah patriot dari KH Muhammad Yahya atau yang lebih akrab dipanggil dengan Kiai Yahya ini dibuktikan dengan terjunnya Kiai Yahya dalam perang gerilya sejak sebelum tahun 1945. Catatan kesaksian komandan gerilya pasukan “ Garuda Merah “ Kompi 1 Bataliyon 1 Resimen 38 Untung Suropati Brigadir Jendral (purn) KH. Syulam Syamsun pada sebua pengantar buku biografi Kiai Yahya dalam keterlibatannya pengasuh Pondok Gading generasi tiga ini cukup jelas.  

Ada sejumlah pertempuran yang Kiai Yahya ikut turun di garda depan . Misalnya saat pertempuran dengan PGV ( Pront Gubeng Vladek ) bentukan Belanda di Surabaya pada 10 November 1945, selain itu ia pun turut bertempur dalam perang kemerdekaan I dan II sejak Kota Malang jatuh ketangan Belanda tahun 1948. Saat itu markas gerilya pasukan ini terletak di lereng gunung kawi tepatnya di Desa Sumberbedo. 

Bahkan di sebutkan. Kiai Yahya menjadi salah satu kunci suksesnya gerilya kala itu. Kiai Yahya begitu cerdas dan kebal . Dalam hal mengelabui musuh , dia selalu sukses . Memang saat itu Pondok Gading di anggap Belanda Zona netral , Nah “ Hadiah “ itu yang di manfaatkan dia untuk melakukan sejumlah penyerangan halus. Misalnya menjadi inteljen. Penyiapan logistik dan amunisi dari pondok untuk para pejuang. Peranan itulah yang patut di acungin jempol dari ulama tasawuf tersebut.

Selama tiga tahun bergerilya di lereng gunung kawi akhirnya Kota Malang berhasil di rebut Pasukan Garuda Merah pada 27 Desember 1949.

Masa Kecil Kiai Yahya

Dilahirkan tahun 1900 M di Desa Jetis, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, KH Muhammad Yahya sejak kecil sudah bersentuhan dengan ilmu agama melalui pendidikan khas ala pesantren yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Kiai Qoribun dan ibunya, Nyai Ratun. Hidup di tengah keluarga yang religius, Kiai Yahya juga mengikuti pendidikan dasar agama yang diasuh oleh pamannya, yaitu Kiai Abdullah yang juga salah satu mursyid Thariqah Kholidiyah. Di surau pesantren pamannya inilah Kiai Yahya mengenal dasar-dasar aqidah, bimbingan ibadah dan doktrin etika agama. Penguatan dasar agama di masa kecil ini menjadikannya kuat dan kokoh dalam mempertahankan prinsip.

Kiai Yahya kecil hingga remaja memang terkenal sangat mencintai ilmu. Terbukti, tidak kurang dari enam pesantren menjadi jujugan-nya dalam menuntut ilmu selama kurun waktu 20 tahun. Mulai dari Pesantren Bungkuk Singosari, Pesantren Cempaka Blitar, Pesantren Kuningan Blitar, Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo, Pesantren Kiai Asy’ari Tulungagung hingga Pesantren Jampes Kediri. Keenam pesantren tersebut telah memberi maziyah keilmuan tersendiri bagi Kiai Yahya.

Setelah dirasa cukup, di tahun 1930 atas restu Kiai Ihsan, akhirnya Kiai Yahya boyong ke kota kelahirannya di Malang. Dan di tahun itu pula, Kiai Yahya diambil menantu oleh Kiai Isma’il, dan dinikahkan dengan putri angkat beliau yang bernama Siti Khodijah. Kiai Isma’il mengambil putri angkat dari kemenakannya sendiri, yaitu Kiai Abdul Majid. Kedua ulama ini merupakan pengasuh generasi kedua Pondok Pesantren Gadingkasri Malang, nama Pondok Pesantren Miftahul Huda saat itu, yang sekarang lebih dikenal dengan Pondok Gading. Namun, baru lima tahun usia pernikahanannya, Kiai Abdul Majid dan Kiai Isma’il wafat. Akhirnya, Kiai Yahya mengemban tugas ganda, baik sebagai pengasuh pesantren maupun sebagai kepala keluarga.

Aktif di Medan Tempur


Saat memimpin Pesantren Gading inilah, Kiai Yahya terpanggil untuk mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk membela kehormatan bangsa. Kiai yang memiliki sebelas anak ini ikut terlibat aktif dalam upaya heroik membela bumi pertiwi. Bersama seorang komandan batalyon tentara Badan Keamanan Rakyat (BKR) bernama Mayor Sulam Syamsun, Kiai Yahya turut serta merancang, menyusun strategi dan menggerakkan santri dan rakyat untuk melakukan perang gerilya di Kota Malang dan sekitarnya. Bahkan, saat Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad pada 10 November 1945, Kiai Yahya juga termasuk salah satu dari ratusan ribu pejuang yang ikut bertempur di garis depan. Keikutsertaannya di pertempuran tersebut atas permintaan khusus dari Panglima BKR Divisi Untung Soeropati, Mayor Jenderal Imam Soedja’i.

Semasa perang gerilya berlangsung, Pondok Pesantren Gading dijadikan sebagai markas pasukan dalam melakukan penyerangan ke jantung kota. Karena letaknya yang strategis dan dianggap sebagai netral zone (daerah netral), hal ini membuat pasukan merasa aman dan leluasa merancang dan merencanakan serangan. Selain itu, Pondok Gading juga terkenal di kalangan para pejuang sebagai tempat yang aman bagi berkumpulnya pimpinan dalam melakukan pertemuan dan briefing.

Hal ini sesuai dengan pernyataan KH Abdurrahman Yahya (putra ke-5 Kiai Yahya), “Walaupun terhitung lebih dari sepuluh kali mortir (bom) jatuh di darah Gading namun tidak pernah terjadi ledakan yang membahayakan,” ujar Mbah Kiai Man, sapaan akrab KH Abdurrahman Yahya.

Demikian pula  ketika meletusnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat yang mana hal tersebut dikhawatirkan bakal merembet ke daerah lain, maka KH Abdul Wahid Hasyim sebagai wakil pemerintah dan petinggi Nahdlatul Ulama memilih berkunjung ke Pondok Gading. Didampingi Kepala Staf Divisi VII Surapati Kolonel Iskandar Sulaiman, di pondok inilah diadakan rapat terbatas bersama Komandan Batalyon Hamid Rusdi, Sullam Syamsun, Abdul Manan, Kapten  Yusuf bin Abu Bakar dan Kiai Yahya yang menekankan kepada seluruh pejuang untuk tidak terpengaruh oleh provokasi DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. 

Kiai Yahya di kalangan para pasukan juga sangat terkenal dengan sikap pemberaninya. Setelah agresi Militer Belanda 1 yang memaksa pejuang Indonesia dipukul mundur. Dari pihak Indonesia, Mayor Sullam memikul tugas berat untuk merebut kembali Kota Malang yang sudah terlanjur dikuasai oleh pasukan asing. Disiapkanlah strategi perang gerilya. Semua kekuatan dikerahkan, termasuk potensi dan kharisma Kiai Yahya. Ada empat tugas khusus yang harus dilakukan Kiai Yahya. Di antaranya, tugas motivator, tugas intelejen, tugas logistik, dan tugas teritorial. Meski tergolong berat, namun tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh Kiai Yahya yang mampu menggerakkan santri dan masyarakat sekitar. Tidak heran jika Kiai Yahya dikenal sebagai seorang ahli strategi dan mobilisator yang tangguh, istiqomah, tegas dan cerdas. 

Wafatnya KH Muhammad Yahya

Pagi, 4 Syawal 1392 H atau bertepatan pada tanggal 23 November 1971 M sekitar pukul 09.30 WIB, Kiai Yahya mengembuskan nafas terakhir, menghadap Allah SWT pada usia 71 tahun. Ada yang berpendapat ia meninggal pada usia 68 tahun karena Kiai Yahya lahir pada 1903. Namun, menurut saksi hidup, KH Abdurrahman Yahya, yang lebih valid adalah Kiai Yahya lahir tahun 1900, sehingga umur beliau 71 tahun. Terlepas dari itu semua, kepergiannya yang mendadak dan begitu mudah, membuat keluarga ndalem, tetangga dan santri setengah tidak percaya, termasuk Nyai Khodijah dan KH Abdurrahman Yahya yang mendampingi hingga detik-detik terakhir. Namun Allah SWT Maha Kuasa dan Maha Berkehendak untuk menciptakan makhluk sekaligus mengambilnya. Akhirnya, Kiai Yahya wafat meninggalkan ilmu, pesan, teladan dan kenangan tiada terukur bagi siapa pun. 


Dzurriyat K.H. Muhammad Yahya

Kiai Yahya dan Ibu Nyai Hj. Siti Khodijah Yahya dikaruniai 11 orang putra-putri, yaitu :

1. Kiai A. Dimyati Ayatullah Yahya (1936 – 1971)
Kiai A. Dimyati meninggal 40hari sebelum Kiai Yahya wafat dengan meninggalkan seorang putri. Kiai Dimyati adalah putra tertua yang bersama deangan ayahanda beliau berjuang mengembangkan Pondok Pesantren Miftahul Huda dan mengasuh jama’ah Thoriqoh di Kodya dan Kabupaten Malang.


2. K.H. Abdul Adzim Amrullah Yahya(1938 – 2003)
Beliau mendirikan Pondok Pesantren yaitu PP. Manba’ul Huda di Girimulyo, Kec. Karangploso Kab. Malang. Kiai Adzim diberi ijazah (mandat) oleh ayahanda beliau, Kiai Yahya untuk menjadi khalifah dan mursyid (guru) Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wan Naqsabandiyah yang bertugas membina dan membaiat thoriqoh di Malang. Mandat ini beliau terima setelah pemegang mandat sebelumnya, Kiai Dimyati wafat. Dalam Idaroh Syu’biyah Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An Nahdliyah Malang, Kiai Abdul Adzim dipercaya sebagai roisnya.


3. Gus Abdulloh (Lahir 1940) meninggal waktu kecil

4. K.H. Abdur Rochim Amrullah Yahya (1942 – 2010)
Beliau merupakan pengasuh generasi IV di PP. Miftahul Huda. Sebagai penerus Kiai Yahya beliau bersama saudara bertekad melestarikan apa yang dirintis dan ditetapkan oleh Kiai Yahya, serta melakukan pengembangan positif selama tidak bertentangan dengan cita-cita dan wasiat Kiai Yahya. Kiai Abdur Rochim dipanggil kehadirat-Nya dengan meninggalkan tiga putri dan satu putra.


5. K.H. Abdur Rohman Yahya (Lahir 1945)
Kiai Abdur Rohman bersama dengan Kiai Abdur Rochim mengasuh PP. Miftahul Huda dan secara istiqomah memberikan pengajian kitab kuning kepada para santri dalam setiap harinya. Beliau juga diijazahi dan diberi mandat sebagai kholifah dan mursyid (guru) Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wan Naqsabandiyah sebagai penerus Kiai Yahya bersama dengan Kiai Abdul Adzim Yahya. Dalam Idaroh An Nahdliyah Malang, Kiai Abdur Rohman dipercaya sebagai katib, dan sekarang (setelah Kiai Abdul Adzim wafat) Kiai Abdur Rohman dipercaya sebagai rois.


6. K.H. Ahmad Arif Yahya (Lahir 1948)
Kiai Ahmad Arif adalah putra ke-enam Kiai Yahya. Saat ini beliau menjabat sebagai Kepala Madrasah Diniyah Matholiul Huda PP. Miftahul Huda. Sejak tahun 1978 Kiai Ahmad Arif bersama beberapa ustadz mengelola Madrasah Diniyah dengan menerapkan sistim salaf klasikal. Dalam madrasah ini beliau membagi jenjang pendidikan terdiri dari tiga tingkatan, yakni tingkat ula, wustho, dan ulya.


7. Nyai Khodijah (Lahir 1950)
Nyai Khodijah adalah putri pertama Kiai Yahya. Beliau bersama suami, K.H. M. Muchtar saat ini sedang mengasuh santri di PP. Manabi’ul Huda, Tumpukrenteng, Kec. Turen Kab. Malang.


8. K.H. Muhammad Ghozali Yahya (Lahir 1952)
Kiai Muhammad Ghozali saat ini sedang merintis dan mengembangkan pondok pesantren di Karangploso, Malang.


9. Nyai Hj. Fatimah (Lahir 1955)
Nyai Hj. Faimah saat ini bersama suami, K.H. Ubaidillah mengasuh PP. Hidayatul Mubtadi-in, Dawuan Malang.


10. Nyai Hj. Maryam Mashrifiyah (Lahir 1958)
Nyai Hj. Maryam saat ini meneruskan perjuangan ibunda beliau Almarhumah Nyai Hj. Siti Khodijah Yahya dalam mengasuh santri putri PP. Miftahul Huda. Suami beliau, K.H. M. Baidlowi Muslich, menjabat sebagai Kepala Pondok Pesantren Miftahul Huda sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia Kota Malang. Saat ini Nyai Hj. Maryam beserta suami sedang merintis dan membangun Pondok Pesantren Anwarul Huda di Karang Besuki Malang.


11. Nyai Hj. Dewi Aisyah (Lahir 1962)
Nyai Hj. Dewi Aisyah adalah putri terakhir Kiai Yahya. Bersama kakak beliau, meneruskan ibunda Almarhumah Nyai Hj. Siti Khodijah Yahya mengasuh pondok putri di PP. Miftahul Huda. Suami beliau, Drs. K.H. M. Shohibul Kahfi, M.Pd menjabat Wakil Kepala Pondok Pesantren Miftahul Huda.



Artikel Terkait