Sabtu, 23 Desember 2017

Biografi Ulama - KH. Adlan Aly dari Cukir Jombang

Biografi Ulama - KH. Adlan Aly dari Cukir Jombang
MUHAMMAD ADLAN ALY, (1900-1990). Lahir pada tanggal 3 Juni 1900 di Pesantren Maskumambang, Dukun, Sedayu, Gresik, dari pasangan Nyai Hj. Muchsinah binti K.H. Abdul Jabbar dan K.H. Ali. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Putri Wali Songo, Cukir, Jombang, Jawa Timur, dan Ketua Umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN), organisasi tarekat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini dikenal sebagai sosok yang wara’, zuhud, dan tawadlu’.


Saudaranya adalah K.H. Ma’shum, H.M. Mahbub, dan Nyai Mus’idah Rohimah. Kakaknya, K.H. Ma’shum Ali, kemudian menjadi menantu K.H. Hasyim Asy’ari dan penulis buku terkenal. Kiai Adlan Aly tumbuh dan dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga pesantren. Kakeknya, K.H. Abdul Jabbar (wafat 1903), adalah pendiri Pondok Pesantren Maskumambang Gresik di tahun 1859. Awalnya Kiai Adlan Aly nyantri kepada sang ayah, K.H. Ali, di Pesantren Maskumambang. Kemudian menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, dan terbilang sebagai santri generasi awal K.H. Hasyim Asy’ari. Adalah kebanggaan para santri di Jawa waktu itu menambah ilmu dan berguru kepada pendiri NU ini.

KH.M.Dahalan Aly semenjak kecil kurang lebih berusia 5 tahun belajar agama Islam kepada pamannya yaitu KH.Fariq di pondok pesantren Maskumambang ,setelah berusia 14 tahun beliau belajar menghafal Al-Qur’an kedapa KH.Munawar Kauman Sedayu Gresik.Empat tahun kemudian beliau mengikuti kakaknya mondok di pesantren jombang .Setelah KH.Ma’shum Aly mendirikan pondok sendiri, yaitu pondok pesantren Seblak Diwek Jombang, KH.M.Dahlan Aly ikut pindah kesana walau tetap menuntut ilmu di Tebuireng.Ketika H.M.Mahbub Aly membuat rumah di Cukir dan membuka toko kitab di muka pasar Cukir, KH.M.Adlan Aly diminta membantu kakaknya mengurusi toko.

Setelah NU berdiri, K.H. Hasyim Asy’ari memanggil santri favoritnya ini, bersama-sama K.H. Abdul Karim Gresik dan H. Sufri, untuk membentuk  kepengurusan NU di Kecamatan Diwek. Dari Pesantren Cukir inilah Kiai Adlan Aly berkiprah di NU hingga ke level nasional. Dalam Muktamar NU yang ke-8 di Cirebon pada Agustus 1931, Kiai Adlan Ali dipercaya sebagai pemimpin sidang. Termasuk ketika membahas masalah Tarekat Tijaniyah yang sempat bikin panas muktamar. Meski akhirnya forum perdebatan yang langsung dipimpin sendiri oleh K.H. Hasyim Asy’ari itu memutuskan bahwa Tijaniyah dianggap sebagai tarekat mu’tabarah.

Kiai Adlan Aly memang dikenal sebagai tokoh tarekat dan menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Padahal gurunya sendiri, K.H. Hasyim Asy‘ari, dan komunitas Pesantren Tebuireng, tidak mengamalkan satu tarekat pun. Ijazah irsyad (perkenan untuk menjadi mursyid atau guru dalam satu tarekat) beliau dapatkan dari guru tarekatnya, K.H. Muslih Abdurrahman Mranggen, Demak. Yang terakhir ini memang dikenal sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan banyak memberi ijazah kepada para ulama Jawa. Selain itu, Kiai Adlan Aly juga memperoleh ijazah tarekat tersebut dari K.H. Romly Tamim Rejoso, Jombang.

Kemudian, pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979, Kiai Adlan Aly terpilih sebagai ketua umum pertama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah Al-Mu’tabarahan-Nahdliyyah (JATMAN). Dan memang baru pada muktamar kali ini NU punya organisasi tarekat sendiri berskala nasional. Karena sebelumnya ada organisasi tarekat yang dipimpin oleh K.H. Musta’in Romly, putra K.H. Romly Tamim Rejoso.

Tapi para kiai dan ulama tarekat meninggalkan organisasi tarekat bernama Jam’iyyah Ahli-t-Thariqah al-Mu’tabarah ini. Soalnya K.H. Musta’in Romly bergabung ke Golkar bersama dengan organisasi tarekatnya di tahun 1970-an. Ketika Kiai Adlan Aly terpilih sebagai Ketua Umum JATMAN, muncul suara miring yang menyebut beliau berambisi memimpin organisasi tarekat karena bersaing dengan Kiai Musta’in yang sama-sama ulama tarekat Jombang. Namun, tuduhan itu terbukti tidak benar. Karena ternyata yang meminta pembentukan organisasi tarekat baru itu di Muktamar NU Semarang adalah K.H. Muslih Abdurrahman sendiri, guru tarekat para ulama pesantren.

Sejak itu, anak-anak Pesantren Tebuireng kalau ingin gabung ke tarekat, patronnya adalah Kiai Adlan Aly. Di Tebuireng beliau juga mengajar kitab-kitab, seperti Fathul Qarib, Fathul Wahab, al-Muhadzab, Manhaj Dzawinnazhar, Jam’ul Jawami, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Munir karya Syaikh Nawawi al-Bantani, dan juga kitab Shahih Bukhari–Muslim. Ketika Kiai K.H. Hasyim Asy’ari memimpin Tebuireng (1955-1965), Kiai Adlan Aly bersama K.H. Idris Kamali juga dipercaya memimpin pengajian kitab-kitab kelas tinggi.

Kiai Adlan Aly dikenal dekat dengan masyarakat, sekaligus aktif berjuang membela kepentingan mereka. Bahkan setiap undangan dari para jamaahnya selalu beliau datangi. Bahkan di usia senjanya, rela dibonceng dengan sepeda motor untuk menempuh jarak sejauh untuk mendatangi undangan seorang jamaahnya. Padahal beliau dikenal di masa mudanya – di sekitar tahun 1925 – sebagai jago balap mobil. Waktu lampu mobil masih menggunakan karbit, beliau sudah sering ngebut.

Di masa pendudukan Jepang, sewaktu menjabat sebagai Rois Syuriyah NU di Jawa Timur, Kiai Adlan Aly bersama H. Sufri aktif mengurus kepentingan warga yang keluarganya kena wajib romusha.  Bahkan beliau sempat ditangkap oleh tentara Jepang untuk dipekerjakan dalam rombongan romusha. Tapi sempat menghilang dan akhirnya kembali ke rumah dengan selamat. Usai Proklamasi Kemerdekaan 1945, beliau bergabung ke dalam Barisan Sabilillah – sebuah laskar ulama-pesantren yang dikomandani langsung oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah di tingkat nasional. Selain menggalang dana untuk perjuangan laskar-laskar santri dan ulama, Sabilillah dan Hizbullah, Kiai Adlan Aly juga ikut berperang di garis depan untuk membendung laju tentara Belanda yang bermaksud menguasai kembali daerah Jawa Timur pasca perang 10 November 1945 di Surabaya.

Usai revolusi kemerdekaan, Kiai Adlan Aly kembali ke pesantren membenahi sistem pendidikan. Fokus utama beliau adalah pendirian pondok putri, mewujudkan amanah gurunya, K.H. Hasyim Asy’ari. Pada awal abad ke-20 kebanyakan yang nyantri di pondok adalah laki-laki. Meski ada perempuan yang nyantri, mereka tidak mondok. Karena pesantren memang tidak menyediakan asrama putri. Beberapa lama kemudian, ada inovasi baru, sejumlah pesantren mulai membuka pondok putri. Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, misalnya, di bawah asuhan K.H. Bisri Syansuri (salah seorang pendiri NU), sudah memulai membuka pondok putri. Sementara Pesantren Tebuireng sendiri belum melakukannya, meski banyak perempuan santri yang ingin mondok di pesantren. Masalah itu segera direspons oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau menunjuk K.H. Adlan Aly, santri kesayangan beliau, untuk membuka pesantren putri di Desa Cukir.

Empat tahun setelah wafatnya sang guru di tahun 1947, Kiai Adlan Aly baru bisa merealisasikan rencana itu. Pondok putri itu diberi nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Pondok itu juga bernilai strategis bagi masyarakat Jombang. Diketahui banyak anak-anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya. Daerah Cukir dan sekitarnya juga belum memiliki sekolah lanjutan setingkat SMP dan SMA. Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan pondok dengan nama Madrasah Mu’allimat Cukir. Bersamaan dengan kedatangan para santri putri dan pelajar putri yang ingin mondok, Kiai Adlan Aly lalu membangun asrama sederhana di belakang rumahnya.

Pondok itu kemudian berkembang. Para santri putri kian banyak. Terutama dari luar Jombang, sehingga pondok itu dikenal dengan nama Pondok Pesantren Putri Wali Songo. Dan hingga kini pesantren itu berkembang menjadi sebuah pesantren modern, lengkap dengan berbagai fasilitas belajar-mengajar dan penunjang kehidupan kaum santri di dalam  pondok. Tidak terkecuali, pelajaran ngaji kitab kuning, yang wajib untuk semua santri, tetap dilestarikan dan dikembangkan.

Sukses mengembangkan pesantren dan organisasi tarekat, Kiai Adlan Aly kemudian berkecimpung dalam dunia politik, meski hanya sebatas di lingkungan Kabupaten Jombang. Menjelang Pemilu 1987, Kiai Adlan Aly berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan, lalu terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, periode 1988-1993.

K.H. Adlan Aly wafat pada tanggal 17 Rabiul Awal 1411 H/6 Oktober 1990 M dalam usia 90 tahun. Ulama kharismatik ini kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng, Jombang.

Kiai, panggilan prestisius yang disematkan pada seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang agama, pengobatan atau memiliki karomah melebihi orang lain pada umumnya. Sehingga tak jarang kiai menjadi “konsultan sosial” dari berbagai masalah yang menerpa masyarakat di sekitarnya. Menjadi pemecah kebuntuan kehidupan sosial  dalam berbagai aspek dan sendi-sendi kemasyarakatan.

Anang Firdaus, dalam buku Karomah Sang Wali. Sebuah biografi tentang jejak langkah seorang ulama kharismatik ini mengisahkan kehidupan KH Muhammad Adlan Aly yang penuh dengan karomah dan keteladanan. Melalui buku ini ia menyatakan bahwa dalam kehidupan seseorang harus memiliki akhlakul karimah dalam pergaulan sehari-hari. Setiap tindak tanduk anak adam akan memiliki arti. Arti yang akan memberikan pengaruh pada kehidupan generasi selanjutnya.

Berawal dari sebuah pesantren di daerah Maskumambang, Gresik. Adlan kecil mulai menempa pendidikan agama. Pesantren Maskumambang merupakan tanah kelahirannya dan disini pula Adlan memperoleh ilmu agama dibawah asuhan pamannya KH Faqih Abdul Jabbar yang merupakan putra dari KH Abdul Djabbar (Pendiri Pesantren Maskumambang).

Kesungguhanya dalam belajar agama membawa Adlan kecil melanjutkan rihlah Ilmiahnya  kepada KH Munawwar, Kauman, Gresik untuk menghafal Al-Qur’an saat berumur 14 tahun. Merasa haus dengan samudra ilmu ia melanjutkan tabarukkan kepada KH Muhammad Said bin Ismail di tanah Madura dan memperoleh sanad Al-Qur’an yang muttasil dengan baginda Rosul. Hingga akhirnya berguru langsung kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asyari di pesantren Tebuireng.

Saat menjadi santri di Tebuireng, Yai Delan (panggilan KH M Adlan Aly) menjadi kepercayaan dan santri kesayangan Yai Hasyim Asyari. Pasalnya beliau adalah Hafidz Al-Qu’ran dan alim. Tak jarang Yai Hasyim sering meminta pendapat kepada beliau bilamana ada permasalahan seputar fiqh. Beliau sering diminta menjadi imam mengantikan Yai Hasyim saat berhalangan hadir. Khususnya saat Ramadhan, menjadi imam shalat tarawih di masjid Tebuireng.

Sejak saat itu, KH Adlan Aly kerap menjadi qori’ dan guru dalam kegiatan belajar mengajar di Tebuireng. Hampir setiap hari kesibukannya diisi untuk mengajar kitab dan menerima setoran hafalan Qur’an para santri. Membantu pesantren gurunya yang sangat beliau kagumi. Hingga puncaknya beliau mendirikan pondok putri Walisongo di Cukir dan masih eksis sampai sekarang.

Kiai Adlan merupakan seorang wali yang memiliki banyak karomah. Diantaranya selalu turun hujan saat Yai Delan mengaji kitab Fathul Qarib bab Istisqa’. Ketika beliau membaca bab tersebut lalu mempraktekan shalat istisqa’ dan mengalungkan sorban ke pundaknya dalam seketika itu hujan turun. (hal 76)

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Adlan Aly, yang lahir pada tanggal 3 Juni 1900 Masehi diMaskumambang kecamatan Dukun sedayu kabupaten Gresik.Dan wafat tanggal 6 Oktober 1990 M.atau 17 Robiul awal 1411 H. yang kemudian di semakamkan di pemakaman pondok Tebuireng Jombang.

Konon di tengah–tengah Desa Sembungah kidul kecamatan Dukun ada hutan kecil yang kemudian di babat oleh KH. Abdul Djabbar dan didirikanlah sebuah rumah. Sedang beberapa tahun berikutnya beliau dengan istrinya Ibu Nyai Nur simah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun berikutnya di Makkah kembali ke tanah air untuk mendirikan masjid dan pondok pesantren. Dari hutan yang tidak di pelihara menjadi daerah yang subur dan indah sebagai tempat mencari ilmu seakan –akan emas yang mengambang karena daerah sekitarnya di liputi sungai, jadilah nama Maskumambang dari kata Emas dan Kambang (mengapung).

KH.Abdul; Jabbar lahir pada tahun 1241 H, yang ketika masih mudanya pernah belajar di pondok pesantren Ngelom sepanjang Sidoarjo, kemudian meneruskan ke pondok pesantren Tugu Kedawung Pasuruan .Setelah dewasa di ambil menantu oleh KH.Idris Kebon Dalem Bourno Bojonegoro, mendapat putrinya yang bernama Nur Simah. Pada tahun 1325 H. atau 1907 KH. Abdul Djabbar menghadap Alloh SWT. Dalam usianya yang ke-84, di makamkan di desa Siraman kira-kira 700 meter dari Maskumambang.

Pondok pesantren yang di tinggalkan di lanjutkan oleh putra-putri beliau terutama KH. Faqih . sedang putrinya nya,Ibu Nyai HJ. Muchsinah dengan KH.Aly mulai merintis mendirikan pondok pesantren di Maskumambang juga. Dari pasangan Ibu Hj.Muchsinah dengan KH.Adlan Aly mulai merintis mendirikan piondok pesantren di Maskumambang juga .Dari pasangan Ibu Hj. Muchsinah dengan KH. Adlan Aly inilah yang lahir KH. Muhammad Adlan Aly yang bersaudarakan KH.Makhsum (yang terkenal dengan ahli ilmu falaq), H.M. Mahbub, Mus’idah Rohimah.

Diusia yang sudah mencukupi KH.M.Adlan Aly menikah dengan Ibu Nyai Hj. Romlah yang kemudian lahir dua putra dan dua putrinya Nyai Hj. Mustaghfiroh, KH. Ahmad Hamdan Adlan, Ibu Nyai Hj. Sholikhah dan KH. Abdul Djabbar. Dalam perjalanan pulang dari tanah suci Mekkah pada tahun 1939M, Ibu Nyai Romlah wafat dan di makamkan di pulau We Sumatra. Sesampainya di rumah KH.M Adlan Aly di panggil oleh Hadrotus Syeh KH. Hasyim Asy’ariyang bermaksu menjodohkan dengan keponakanya yang bernama Nyai Hj. Halimah.

Dan Kurang lebih selama 40 tahun beliau menjadi istri KH.M. Dahlan Aly dan wafat pada tahun 1982 M. kemudian Romo Kyai menikah dengan Ibu Nyai Hj. Musyafa’ah Ahmad seorang Ustadzah dari desa keras Diwek Jombang pada tahun 1982 M. Delapan tahun berikutnya Romo Kyai berpulang ke Rahmatulloh.Baik dengan Ibu Nyai Hj. Musyafa’ah, KH.M. Adlan Aly tidak di karuniai putra-putri.

KH.M.Adlan Aly bersama H.sufri aktif mengurus Mabarrot NU, yaitu membantu keluarga NU yang kena wajib Romusha, dimana pada masa penjajahan jepang ini banyak pemuda yang dijadikan Romusha.Sementara keadaan ekonomi masyarakat serba kekurangan,baik makan maupun pakaian.Bahkan Romo Kyai pernah diambil Jepanguntuk Romusha dan semoat hilang selama empat hari,namun Alahmdulillah kembali lagi kerumah beliau.

Pasca Proklamasi 1945, tentara Belanda dengan membonceng tentara Inggris masihb ingin menjajah kembali , maka aktiflah beliau mengikuti barisan Sabilillah,juga ikut perang di Front garis depan sekitar sepanjang untuk membendung tentara Belanda yang bermaksud mengadakan terobosan keluar daerah Surabaya. Disamping itu beliau menghimpun dana dari masyarakat agar mampu mencukupi persenjataan Hisbullah dan Sabilillah.

Kemerdekaan telah sepenuhnya dimiliki bangsa kita,beliau mulai memikirkan masalah pendidikan.Diketahui banyak anak putri tamatan Madrasah Ibtidaiyyah tidak dapat melanjutkan belajar keluar daerah karena keterbatasan biaya ,dimana khususnya daerah Cukir dan sekitarnya belum ada sekolah lanjutan setingkat SLTP dan SLTA .Akhirnya diadakan musyawarah dan sepakat mendirikan Madrasah Mu’allimat Cukir.karena kedatangan siswa-siswi dari luar, maka di bangunkanlah asrama di belakang rumah beliau.

Sebagai insan yang mempunyai jiwa pejuang ,maka beliau berjuang demi tanah air dan demi agama .Hal ini tercermin pada jabatan yang pernah disandangnya setelah Indonesia merdeka, antara lain :

1. Rois Syuriah NU wilayah Jawa Timur
2. Mustasyar NU wilayah Jawa Timur
3. A’wan Pengurus Besar NU
4. Rois Syuriah cabang NU kabupaten Jomabang
5. Anggota DPRD-II Kabupaten Jawa Timur ,hasil pemilu tahun 1987 fraksi Partai Persatuan Pembangunan bersama K.H Syamsuri Baidlawi.

Selain itu beliau pernah menjadi Rois Am Jami’iyayah Ahliath-Thariqah Al –Mu’tabarah An-Nadiyyah pada Idaroh Aliyah ,Wusthan Idaroh Syu’biyyah jomabang ,sekaligus menjadi Al-mursyid ath-Thariqah. 


Sosok kiai sepuh yang sabar dan istiqamah ini sangat terkenang betul di benak para santri. Ketika mereka ditanya tentang “Bagaimana sosok Kiai Adlan menurut Panjenengan?” maka berbagai komentar yang hampir tak serupa senantiasa kami dengar. Ada yang menuturkan, "Beliau itu kiai yang tidak hanya hafal isi al-Quran tetapi juga menjalankannya”, “Kiai Adlan adalah kuncinya Kiai Hamid Pasuruan. Jadi kalau ingin mudah bertemu dengan Kiai Hamid harus sowan dulu ke Kiai Adlan.”

Bahkan Prof. Dr. KH. Thalhah Hasan menambahkan; “Di Tebuireng itu ada dua penghuni surga: Kiai Idris Kamali dan Kiai Adlan Ali. Beliau berdua sama-sama alim, wara', zuhud…"

Ada lagi kesan para santri yang membuat kami terkesan unik, “Kiai Adlan Ali itu kiai yang tidak pernah melihat langit.” Istilah ini menunjukkan saking tawadhu’nya Kiai Adlan. Ketika berjalan tidak pernah mengangkat kepala ke atas. Beliau senantiasa menunduk sopan.

Di Tebuireng, setiap bulan Ramadhan, Kiai Adlan membacakan kitab matan at-Taqrib. Tepat di posisi yang dulu digunakan Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengajar, Kiai Adlam duduk di sana, sedangkan para santri mengitarinya sebagai halaqah ilmiah. Dalam pengajian ini ada karomah Kiai Adlan yang tampak di setiap tahunnya. Ketika pembahasan tepat pada bab Istisqa’ (ritual memohon hujan), anehnya langit Tebuireng menjadi gelap. Dan tiba-tiba saja, bulan Ramadhan yang biasanya kemarau turun hujan deras mengguyur lahan pondok.

Langit pun malu oleh Kiai Adlan. Ia tidak pernah dipandang oleh Kiai Adlan. Ketika ia disindir lewat pembacaan bab istisqa’ maka, ia langung menangis menurunkan air mata hujannya.

Artikel Terkait