Jumat, 01 April 2016

Biografi Ulama | KH Abbas Djamil Dari Buntet Cirebon

Biografi Ulama | KH Abbas Djamil Dari Buntet Cirebon
Kiai Abbas Djamil Buntet adalah putra sulung Kiai Abdul Djamil, yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Djamil adalah putra KH. Muta’ad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni mbah Muqayyim, salah seorang Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, kesultanan Cirebon.

# Masa Kecil KH Abbas Djamil

Masa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri, KH Abdul Djamil. Sewaktu masih seumuran anak-anak yang suka telanjang dan bermain layang-layang, Kyai Abbas setiap meminta uang jajan kepada ayahandanya harus memenuhi syarat yang diberikan. Waktu itu Abbas kecil harus membacakan nadzam Maqshud (riwayat lain Alfiyah) dengan hafalan di hadapan ayahnya. Dengan segera Abbas kecil pun membacakannya dengan hafalan di luar kepala, semuanya tanpa tersisa dan terlewat satu bait pun. Bercampur heran dan takjub, akhirnya uang jajan pun selalu diberikan jika ia meminta.

Beberapa saat kemudian, Abbas kecil mengutarakan keinginannya kepada sang ayah untuk mondok. Meski ayahnya sendiri adalah seorang kyai yang alim dan mengajar ke para santri, orang Jawa menyebut itu belum dikatakan mondok karena belajar kepada orangtuanya sendiri. Disebut mondok jika ia belajar ke pesantren yang bukan milik orangtuanya. Begitupun dengan Abbas kecil, punya keinginan yang besar untuk mesantren ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa, khususnya Jawa Barat.

Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira marang dulur ira ning Masjid Agung Cirebon,” Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.
 
Dengan langkah tegap, tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug masjid pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Abbas kecil.

Salah seorang habib, imam dan khathib Masjid Agung Cirebon, pun berteriak: “Heh... sapa kunuh sing wani-wanine nabuh bedug, kurang 10 menit!” Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, padahal waktu masuk shalat kurang 10 menit lagi!

Karena satu pun jamaah yang hadir tidak ada yang menjawab, karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”

Para jamaah pun saling toleh, tidak ada yang merasa. Tapi salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib. Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”

“Bagen bocah cilik,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.

Akhirnya Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan ia ditanya: “Sira kuh sapa, saking endi?” Kamu itu siapa dan berasal dari mana?

Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Ingsun Abbas, putrane Dul Jamil Buntet.” Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.

Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrane Kyai Abdul Jamil Buntet? Sedulur ingsun?!” Masya Allah, kamu Abbas putranya Kyai Abdul Jamil Buntet? Masih kerabatku?!

Akhirnya Abbas kecil pun disuruh sang habib untuk naik mimbar, dan berkhutbah. Meski kecil, ia sudah sangat fasih berbicara di hadapan orang banyak. Berkhutbah dengan lancarnya bak khathib yang sudah sangat berpengalaman.

# Belajar di Pesantren

Diantara Pondok Pesantren yang dijadikan tempat menimba ilmu KH Abbas Djamil yaitu Pesantren Sukanasari, Pleret, Cirebon, di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari, Pimpinan Kiai Hasan, masih di jawa Barat, lalu ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh Kiai Ubaidah di Tegal, Jawa Tengah.

Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, ia pindah ke Pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU. Di Pesantren Tebuireng, kematangan dan kepribadian Kiai Abbas mulai terbentuk. Di Pesantren itu ia mulai bertemu dengan para santri lain dan Kiai yang terpandang, seperti KH. Wahab Chasbullah (Tokoh dan sekaligus salah seorang arsitek berdirinya NU), KH Abdul Manaf (pendiri pesantren Lirboyo, Kediri).

Abbas Djamil dikenal juga sebagai santri yang gigih dan giat belajar, walaupun ilmunya sudah sangat dalam, ia tetap berniat memperdalam ilmunya dengan belajar ke Makkah Al-Mukarramah. Beruntunglah ia bisa belajar ke sana. Saat itu di Tanah Mekah itu masih ada ulama Jawa terkenal sebagai guru utamanya, yaitu KH Mahfudz Termas, asal Pacitan Jawa Timur. 
 
Sedangkan rekan santri yang lain adalah KH. Bakir (Yogjakarta), KH Abdillah (Surabaya) dan KH. Wahab Chasbullah (Jombang). Di waktu senggang, Kiai Abbas ditugasi mengajar para Mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekah). Santrinya antara lain, KH Cholil Balerante (Palimanan), KH Sulaiman Babakan (Ciwaringin).
 

# Kiprah KH Abbas Djamil

Sepulang dari Makkah, Kiai Abbas Langsung memimpin Pesantren Buntet dengan penuh kesungguhan. Kiai muda ini, sangat energik, mengajarkan berbagai khasanah kitab kuning. Namun ia juga tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Kitab karya ulama Mesir, seperti Tafsir Tontowi jauhari dan Fahrurrazi, juga diajarkan di Pesantrennya. 
 
Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal di seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpikiran progresif. Namun demikian ia tetap saja rendah hati kepada para santrinya.

Sudah barang tentu orang-orang yang berguru kepada Kiai Abbas bukan sembarangan atau pesilat pemula, melainkan para pendekar yang ingin meningkatkan ilmunya. Biasanya tamu yang datang langsung di bawa masuk ke dalam kamar pribadinya. Dalam kamar itulah mereka langsung dicoba kemampuannya dengan melakukan duel, sehingga membuat suasana gaduh. Baru setelah diuji kemampuannya, sang Kiai mengijazahkan wirid tertentu sebagai amalan yang diperlukan, sehingga kesaktian dan kekebalan mereka bertambah.

Dengan gerakan itu, Pesantren Buntet dijadikan markas pergerakan kaum Republik, untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu, pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hisbullah. Di Pesantren Buntet, organisasi ini di ketuai oleh Abbas dan adiknya, KH Anas, serta dibantu ulama lain, seperti KH. Murtadlo, KH. Sholeh, dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hisbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon, seperti KH Hasyim Anwar, dan KH Abdullah Abbas, putra Kiai Abbas.

Ketika melakukan perang grilya, tentara Hisbullah memusatkan perhatiannya di daerah Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung, yang terletak di daerah Walet selatan membentang ke bukit Cihirup, Kecamatan Ciipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya perundingan Renville tahun 1947, ketika kemudian pemerintah RI beserta semua tentaranya hijrah ke Yogjakarta pada tahun yang sama.

Semasa perang kemerdekaan, banyak warga pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya, KH. Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi, dan lain-lain.

Basis-basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya Revolusi Nofember di Surabaya tahun 1945. peristiwa itu terbukti setelah KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Bung Tomo segera datang berkonsultasi kepada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi KH Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu tidak dimulai terlebih dahulu sebelum Kiai Abbas dan laskar andalannya datang ke Surabaya.

Memang setelah dipimpin oleh Kiai Abbas dan adiknya KH. Anas, laskar Pesantren Buntet mempunyai peranan besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 November 1945, atas restu KH. Hasyim Asy’ari. Ia terlibat langsung dalam pertempuran di Surabaya tersebut. Selanjutnya juga Kiai Abbas mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hisbullah ke berbagai daerah pertahanan, untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali Republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.

Di mata KH Hasyim Asy’ari, KH. Abbas memang bukan sekedar santri biasa. Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu beladiri maupun ilmu kedigdayaan. Tidak jarang kiai Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan KH. Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali KH Hasyim mendirikan Pesantren Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama dari gangguan para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng sekitar tahun 1900.

Walaupun revolusi November 1945 di Surabaya dimenangkan oleh laskar-laskar pesantren dengan gemilang, hal itu tidak membuat mereka terlena. Belanda dengan segala kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republiki ini. Karena itu kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan.

Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan. Semua tidak terlepas dari perhatian para ulama. Maka betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam perjanjian Linggarjati pada tahun 1946, yang hasilnya banyak mengecewakan tentara RI.

Mendengar isi perjanjian seperti itu, Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati. Ia jatuh sakit, dan akhirnya kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada Hari Ahad, Subuh, 1 Rabiulawal 1365 atau tahun 1946 M. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Buntet. Mutiara dari Pesantren Buntet itu telah menyumbangkan sesuatu yang sangat berarti bagi nusa dan bangsa.

# Kesaksian Abdul Wachid Salah Satu Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya


Dikutip dari sarkub.com , berikut isi pengakuan tersebut.  Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi Keamanan mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.

 Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10 November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.1

 Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.

 Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.

 Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.

 Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?

 Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.

 Pada malam harinya, ba’da salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.

 Ba’da salat subuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.

 Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.

 Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.

Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.

 Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rembang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.

 Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.

 “Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.

 Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.

 Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.

 Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.

 Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

 Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.

 Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.

Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan..

Artikel Terkait